Ikuti kami di Google News. Follow

GARA-GARA MIE INSTAN

Maraknya mie instan di Indonesia berimbas pula pada pemikiran para pelajar dan mahasiswa. Kata instan, praktis, cepat, mudah dan sebagainya menjadikan para pelajar sering mengambil jalan pintas dalam mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Dengan dalih “kalau ada yang mudah kenapa cari yang sulit?” mereka memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mempersingkat tugas mereka. Baik dengan memanfaatkan sarana internet untuk mencari artikel tentang tugas yang telah diberikan ataupun dengan mengunjungi pengetikan komputer untuk meminta arsip pengetikan yang ada kaitannya dengan tugas mereka.
Melihat kondisi pendidikan yang serba kekurangan, baik dari segi sarana dan prasarana pendidikan, maupun kemauan dan kesiapan para peserta didik untuk mengikuti pendidikan ditambah lagi dengan maraknya karya bajakan yang berkedok praktis ini sungguh ironi jika pendidikan di negara yang kaya akan pontensi sumber daya manusia (220 juta lebih) dapat menjadi pendidikan yang maju. Mungkin kemauan belajar siswa dan mahasiswa adalah hal mendasar yang harus kita bangun demi terwujudnya pendidikan yang berbobot.


Mengarang adalah suatu hal yang cukup dibutuhkan. Mengingat mengarang merupakan curahan hati bagi seorang pelajar. Mungkin sudah sewajarnya bagi pelajar untuk selalu menulis pengalaman mereka dalam belajar, bahkan dalam bergaul dengan situasi sekolah, situasi masyarakat maupun situasi dalam hatinya sendiri. Sehingga menulis “mengarang” dapat dijadikan pelampiasan siswa ataupun mahasiswa untuk mencurahkan segala permasalahannya.
Masih kental di telinga kita dengan kata “buku diare”. Buku ini dimanfaatkan untuk mencurahkan isi perasaannya yang sedang terjadi saat ia menorehkan tinta di atas buku itu, baik itu berupa coretan maupun tulisan ataupun ungkapan kata-kata. Seolah buku diare adalah teman curhat di masa sepi. Bisakah kita berpikir bahwa ketika kita mengerjakan makalah (membuat makalah) seperti menulis di atas buku diare?
Mungkin paradigma pendidikan dasar kita yang telah mengukir kita menjadi seorang yang idealistis juga berimbas pada pemahaman kita tentang membuat makalah. Kita banyak dijejali dengan materi pelajaran yang memberikan ketentuan tentang tata cara membuat makalah. Sistematika yang sering berubah-ubah, bahkan tata cara penulisan yang antara satu pengajar dengan pengajar yang lainnya berbeda sering membuat pusing para pelajar. Bahkan yang paling mengenaskan pelajar merasa enggan untuk mempelajari tata cara penulisan makalah atau karya ilmiah lainnya.
Penulis jadi berfikir, seandainya paradigma pendidikan yang telah kental itu dirubah menjadi sebuah pemikiran yang lebih terbuka, pemikiran yang lebih mengedepankan aspek daya tarik dari pada ketentuan-ketentuan yang kolot (karena banyaknya pakem) mungkin pelajar akan lebih menyukai “soto ayam” dari pada “mie instan”. Karena semestinya membuat makalah bukanlah sebuah tugas yang menjadi beban, tetapi merupakan rangkuman materi yang telah kita dapatkan dari satu atau beberapa mata pelajaran ataupun mata kuliah yang telah kita ambil.
Imbas dari mie instan juga memiliki keterkaitan dengan persoalan software bajakan. Pendidikan di Indonesia sekarang ini mungkin sedikit perlu ada pembenahan, terutama pada bidang pelajaran Teknologi Infomrasi dan Komunikasi. Mata pelajaran yang tergolong ini memiliki imbas yang besar terhadap perkembangan dunia teknologi informasi dan komunikasi, terutama di bidang komputer. Akan tetapi di sini terjadi anomali yang cukup mengenaskan. Di saat pemerintah melakukan penegakan HAKI, di saat itu pemerintah memberi anjuran untuk memakai produk yang nyata-nyata tak terjangkau masyarakat Indonesia. Secara otomatis Indonesia yang sudah tersohor dengan negara dengan tingkat pembajakan nomor dua se Asia Pasific terang-terang memanfaatkan software (Windows) bajakan.
Sistem operasi windows memang sebuah sistem operasi yang sangat mudah untuk dipakai “user friendly”, tapi apakah kita tidak berfikir sejanak bahwa dengan kemudahan yang diberikan kita menjadi “bangsa pengguna” dan kehilangan kemampuan untuk menjadi “bangsa pencipta”. Bahkan julukan negara kita sebagai bengkel terbaik akan segera usang jika kita terus terusan selalu mengandalkan sistem operasi windows yang telah didesain secara rapi. Maksimal kita hanya bisa memodifikasi di bagian registry saja. Kita tidak pernah dipertunjukkan source code dari sistem operasi windows. Apakah ini yang disebut dengan belajar? Belajar jadi pengguna? Atau belajar komputer?
Kalau sekedar menjadi pengguna, penulis rasa tidak perlu adanya pelajaran TIK yang muluk-muluk toh kesiapan dari sekolah maupun siswa belum ada, mending alokasi dananya digulirkan langsung untuk mensubsidi harga laptop (ya... semacam program OLPC aja). Kalau sekedar menggunakan saya yakin dengan memiliki alatnya akan mudah untuk mempelajarinya sendiri. Berbeda kalau kita memang ingin belajar komputer, kita tidak hanya menggunakan program aplikasi yang ada di komputer bewaan tapi cenderung kita pelajari dari kinerjanya komputer.
Yuk rame-rame bikin mie sendiri? Toh cita rasanya akan lebih kita sukai dari pada mie instan yang sudah paten. Sekian renungan hari ini.

About the Author

Saya bukan siapa-siapa. Aku hanyalah seorang yang ingin berguna bagi siapa saja yang membutuhkan. Kini ku coba berkecimpung di dunia yang penuh maya. OpenSource dan sistem operasi gratis merupakan tempat belajarku tiap hari. OK Ayo... maju terus pen…

1 komentar

  1. Unknown
    Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.